Sabtu, 01 Maret 2014

BOLEH TERIMA GRATIFIKASI

BOLEH MENERIMA GRATIFIKASI



Nabi Muhammad saw. mengangkat ibnu Utaibiyah sebagai petugas untuk memungut zakat. Ia diutus mengambil harta itu dari Bani Sulaim. Selesai menemui para muzaki, ia datang ke panitia untuk menyetorkan hasil penarikan zakatnya. Dia berkata, “Ini untuk kalian (harta zakat), sedangkan yang ini adalah hadiah untukku.”

Selain harta zakat. Petugas ini mendapatkan fee dari orang-orang yang ia datangi. Bagaimana reaksi Rasulullah?

Beliau bersabda,”Apakah tidak engkau duduk di rumah bapak atau ibumu, hingga hadiah itu datang kepadamu, jika kamu benar?”

Kemudian Rasulullah saw. berdiri di atas mimbar, beliau mengucapkan hamdalah lalu berkata:

Amma ba'du, aku telah mengangkat seorang laki-laki di antara kalian untuk melakukan tugas yang dibebankan kepadaku, kemudian dia mendatangi orang-orang kaya lalu berkata, ‘Ini untuk kalian dan yang ini hadiah untukku.’ Jika dia berkata benar, mengapa tidak duduk di rumah ayah atau ibunya, sehingga hadiah datang kepadanya.

Demi Allah, seorang di antara kalian yang mengambil sesuatu dengan cara yang tidak benar, maka kelak di hari kiamat akan bertemu Allah dengan membawa barang tersebut.
Jangan sampai aku mengetahui seseorang di antara kalian berjumpa Allah dengan memikul unta yang melenguh, sapi yang melenguh, atau kambing yang mengembik.”
 
Setelah itu, Nabi saw. mengangkat kedua tangannya, hingga putih kedua ketiaknya terlihat. Beliau mengucapkan, “Ya Allah, apakah aku telah menyampaikan?” (Muttafaqun ‘alaih)



Petugas itu bisa mendapatkan rezeki lantaran ia memungut zakat. Kalau saja orang tersebut tidak berdinas untuk urusan ini, dia tinggal dan duduk di rumah, tentu uang tidak datang dengan sendirinya.

Apa tidak boleh kita menerima hadiah? Hadiah tidak sama dengan “tanda ucapan terima kasih”. Hadiah diberikan seseorang kepada orang lain untuk maksud menghormati atau memuliakan (misal: pemberian kepada para kiai, guru, orang-orang saleh), mengasihi (kaum miskin/sanak famili), atau karena cinta (kepada orang-orang yang dikagumi) dan tidak ada hubungan dengan jabatan dan pekerjaan. Apabila pemberian itu ada kaitannya dengan tugas, jabatan, pengurusan perkara, maksud-maksud tertentu, ia dikelompokkan sebagai risywah.

“Rasulullah saw. melaknat orang yang memberi risywah dan orang yang menerima risywah. (HR. Turmudzi)

Apa itu risywah? Ia berasal dari kata rasyaa-yarsyuu-risywatun. Bahasa Indonesianya adalah suap.
“Bagaimana kalau uang diberikan agar sertifikasi halal diterbitkan?”

“Wah, kamu ini, ada-ada saja! Tanya saja Pak Amidhan, Ketua MUI itu!”

“Saya boleh menerima gratifikasi, karena saya bukan penyelenggara negara.” (TEMPO edisi 24 Februari-2 Maret 2014).

Dia boleh mengelak dari KPK, tapi pasti tidak bisa lari dari KPA -Komite Pemberantasan Akal-akalan, di akhirat nanti!

“Pada hari ini Kami tutup mulut mereka. Dan berkatalah kepada Kami tangan mereka, dan memberi kesaksian kaki mereka atas apa-apa yang mereka perbuat.”


Jakarta, bakda Jumatan, 28 Februari 2014.


Salam,
jr



Tidak ada komentar:

Posting Komentar